PMK ITS Event Update

Alumni

Alumnae Tracer (klik di sini untuk membuka form)



BULETIN AKITS

---Edisi Bulan September 2011---


BAGAIMANA BERSIKAP TERHADAP ATASAN?

================================================
Oleh : Iwan Halim Sahputra, alumni teknik Fisika 1994


Hai hamba-hamba, taatilah tuanmu yang di dunia dengan takut dan gentar, dan dengan tulus hati, sama seperti kamu taat kepada Kristus, jangan hanya di hadapan mereka saja untuk menyenangkan hati orang, tetapi sebagai hamba-hamba Kristus yang dengan segenap hati melakukan kehendak Allah, dan yang dengan rela menjalankan pelayanannya seperti orang-orang yang melayani Tuhan dan bukan manusia. Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. (Efesus 6:5-8)

Dalam bagian kitab Efesus yang dikutip diatas tentu saja tidak ditemukan istilah ‘staf’ dan ‘supervisor’, atau ‘manajer’ dengan ‘direktur’-nya, dan tidak juga ‘anak buah’ dan ‘bos’ seperti yang saat ini sering kita dengar.  Dalam bagian ini Paulus menuliskan tentang hubungan antara hamba-hamba (‘budak’ – dalam bahasa Yunani ‘doulos’ yang berasal dari kata ‘deo’ yang berarti ‘diikat’) dengan tuan (dalam bahasa Yunani ‘kurios’  yang berasal dari kata ‘kuros’ yang berarti ‘otoritas’ atau ‘kekuasaan’).  Pada masa Paulus menulis surat ini, di Kerajaan Romawi terdapat banyak sekali hamba atau budak. Kerajaan Roma begitu berkuasa pada saat itu dan boleh dikatakan bekerja bukanlah hal yang seharusnya dilakukan oleh warga kerajaannya. Hampir semua pekerjaan dilakukan oleh budak, bahkan dokter dan guru adalah budak.

Tetapi kita melihat adanya prinsip dasar yang bisa pakai dari bagian ini untuk diaplikasikan dalam hubungan dalam dunia kerja saat ini antara bawahan dengan atasan. Kita lihat di bagian sebelum bacaan ini, yaitu pasal 5 ayat 21, Paulus menuliskan: “dan rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus”.  Kata ‘rendahkanlah’ pada bagian itu berasal dari kata Yunani ‘hupotasso’. Kata ini pada masa itu jika dipakai dalam istilah militer Yunani berarti ‘mengatur (divisi-divisi pasukan) dalam tatanan militer dibawah seorang pemimpin’.  Dalam konteks percakapan biasa, kata tersebut berarti ‘secara sukarela menyerahkan diri,bekerja sama, mengambil tanggung jawab, dan menanggung beban’.  Paulus kemudian menjabarkan lebih lanjut konsep ‘perendahan diri’ ini dalam bagian selanjutnya yang menjelaskan relasi suami dan istri, orang tua dan anak, dan akhirnya hamba dan tuan.

Paulus mengajarkan kepada bawahan untuk mentaati atasannya. Ketaatan ini disertai dengan sikap takut dan gentar. Kata ‘gentar’ di sini berasal dari kata ‘tromos’ yang digunakan untuk menjelaskan  kecemasan seseorang yang tidak yakin akan kemampuannya untuk memenuhi semua persyaratan, tetapi secara spiritual mengerjakan yang terbaik untuk memenuhi kewajibannya.  Di sini ketaatan bukan saja ditunjukkan dengan mengerjakan apa yang diperintahkan oleh atasan, tetapi juga adanya usaha untuk mengerahkan yang terbaik dalam mengerjakannya. Ketaatan ini juga disertai dengan ketulusan, tidak adanya kepura-puraan dan tidak mencari kepentingan diri sendiri.

Ketaatan kepada atasan sering diidentikan dengan ‘mencari muka’ atau ‘mencari selamat diri sendiri’. Kalau mengingat konteks hamba dan tuan saat itu, tentu sangat lebih masuk akal jika seorang hamba berpikir seperti itu karena nasibnya sangat tergantung pada tuannya. Tetapi apakah ketaatan dengan tujuan seperti itu yang dimaksud oleh Paulus? Nampaknya tidak, Paulus menekankan ‘jangan hanya di hadapan mereka (tuan) saja’ ketaatan itu ditunjukkan.
Kualitas ketaatan seperti yang dijelaskan di atas seharusnya tidak dipengaruhi apakah atasan sedang melihat kita bekerja.  Apakah tidak adanya atasan di kantor menyebabkan kita menjadi malas ? Seringkali pengawasan menjadi stimulan untuk kerajinan kita karena mengharapkan adanya ‘perhatian’ lebih dari atasan atas kerja keras yang kita tunjukkan. Tapi Paulus mengingatkan, jangan mengerahkan kemampuan terbaik kita hanya ‘untuk  menyenangkan hati orang (tuan)’.

Paulus mendorong kita untuk bekerja sebagai ‘hamba Tuhan’. Kita menggunakan segenap kemampuan kita dalam bekerja seperti kita bekerja kepada Kristus. Bekerja dengan baik adalah mengerjakan kehendak Allah dengan sepenuh hati.  Ketaatan yang tulus, mengerahkan segenap kemampuan, tanpa ‘mencari muka’ kepada atasan, itulah kehendak Tuhan.  Menjadi bawahan yang mengerjakan perintah atasan seperti mengerjakan untuk Tuhan dan bukan untuk atasan itu, itulah sikap yang dinasehatkan oleh Paulus.
Banyak orang yang bekerja keras disertai dengan ‘sikut kanan-kiri’ dan ‘mencari muka’, untuk mendapatkan promosi dan pengakuan dari atasannya.  Tetapi seharusnya bukan ini sikap seorang pekerja Kristen.  Pekerja Kristen ‘melayani’ Tuhan sebagai atasannya, karena ia tahu bahwa ‘kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan’.  Amin.

Iwan Halim sahputra adalah alumni Teknik Fisika ITS angkatan 1994. Beliau adalah dosen teknik Industri Universitas Kristen Petra yang saat ini sedang studi S3 di Norwegian Univ. of Science & Technology, Norwegia.

Kejelian China, BAGAIMANA DENGAN INDONESIA?

================================================
Oleh : Rony Seto Wibowo, alumni Teknik Elektro ITS 1993


Menjadi Negara kaya dengan PDB per kapita mendekat 40 ribu dollar tidak membuat Jepang bisa bersantai-santai, mereka harus tetap berpikir dan waspada untuk menjaga kelangsungan hidup Negara dan rakyatnya. Di Jepang, untuk kebutuhan hidup single dibutuhkan biaya sekitar 120 ribu yen atau sekitar 12 juta rupiah dan  upah minimum sekitar 700 yen atau sekitar 70 ribu rupiah per jam. Dengan upah buruh yang tinggi, produk-produk Jepang dengan teknologi rendah dan dikerjakan oleh banyak orang hampir dipastikan sulit bersaing dengan produk-produk dari Negara berkembang dengan upah buruh rendah. Belum lagi nilai tukar yen terhadap dollar yang menguat membuat produk made in Japan sulit laku karena harganya yang mahal.
Untuk dapat berkompetisi, tidak ada jalan lain bagi Negara industri termasuk Jepang selain menempatkan perusahaan-perusahaannya ke Negara berkembang termasuk didalamnya China, Indonesia, Vietnam dll. Istilah kerennya  technology transfer ke Negara berkembang. Saat ini, Jepang sendiri telah dibanjiri oleh produk-produk made in China yang dapat dikategorikan ke dalam dua jenis produk. Pertama adalah produk dengan teknologi rendah seperti baju, sepatu, perlengkapan dapur dll. Yang kedua adalah produk technology tinggi dari Jepang tetapi made in China seperti computer, kamera, monitor dll. Sebenarnya China masih tergantung pada produk-produk teknologi tinggi Negara lain seperti Jepang, korea, amerika dan rusia seperti mobil, computer, elevator dll (berdasarkan kunjungan singkat ke China). Namun demikian, China mampu menggunakan posisi tawar mereka sebagai Negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yaitu pasar yang sangat besar dan upah buruh yang murah. Hal ini yang mampu memaksa Negara maju mendirikan pabriknya di China. Dan yang pasti, hal ini harus didukung oleh ethos kerja, stabilitas politik dan infrastruktur yang menunjang. Di sinilah letak kejelian China dalam memanfaatkan ketergantungan Negara maju pada Negara berkembang.
Bagaimana dengan Indonesia? Beberapa persamaan dan ketidaksamaan dengan China melekat pada Indonesia. Kita sama-sama pasar yang besar karena berpenduduk banyak dan sama-sama mempunyai upah buruh yang relative rendah. Berbeda dengan China, stabilitas politik di Indonesia relative labil karena penerapan demokrasi tak terkontrol. Selain itu, penerapan demokrasi yang bebas juga berimbas ke sulitnya pembangunan infrastruktur, maraknya demo buruh dan masyarakat di sekitar daerah industri.  Dari perbadingan head to head dengan China, nampak kita kalah. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi China yang fantastis, Saat ini, PDB per kapita China sekitar 5500 dollar atau hampir dua kali lipat PDB per kapita Indonesia, yang berimplikasi pada naiknya upah buruh di sana. Otomatis, Negara maju akan melirik Negara berkembang lainnya di asia tenggara termasuk Indonesia untuk berinvestasi. Yang menjadi pertanyaan, siapkah kita bersaing dengan Negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan Fillipina? Semua tergantung pada pemerintah dan rakyat Indonesia, apakah kita bisa melihat peluang ini dan bagaimana mempersiapkannya.

Rony Seto Wibowo adalah alumni Teknik Elektro ITS 1993. Beliau adalah dosen Teknik Elektro ITS yang saat ini sedang studi S3 di Hiroshima University Jepang dalam program Technology Transfer.

BERHARAP DIAGNOSANYA SALAH

================================================
Oleh : Sri Purwanto (Sepoer), Alumni Teknik Mesin ITS 1992


13 Agustus 2010

Pagi itu saya bangun sedikit terlambat dan segera mandi. Saya merasa ada yang aneh dengan tangan saya. Waktu mengambil air dengan gayung, saya hampir-hampir tidak kuat. Saya harus ngoyo (berusaha keras) untuk menyiramkan air ke tubuh. Saya hanya berpikir, apakah ini berhubungan dengan rasa kesemutan yang saya rasakan tiga hari yang lalu? Akhirnya mandi selesai, saya bersiap berangkat untuk siaran. Keanehan pada tangan saya tidak terlalu menjadi perhatian saya. Namun rasanya tangan saya semakin lemah.

Hari itu saya harus melakukan negosiasi untuk proyek yang akan saya kerjakan. Saya mempersiapkan perhitungan dengan mencermati aturan-aturan yang berlaku dan tentu menyiapkan argumentasi untuk mempertahankan nilai yang sudah saya hitung. Ternyata cukup banyak waktu yang saya butuhkan untuk persiapan itu. Waktu yang saya pakai untuk persiapan itu ternyata seiring pula dengan penurunan kekuatan tangan dan mulai terasa juga di kaki. Tetapi saya tetap harus melakukan negosiasi. Oleh karena itu, saya  terpaksa minta tolong seorang teman untuk mengantarkan saya ke tempat negosiasi.
Sampai di sana, di tempat pemberi proyek itu, kaki sudah mulai berat tetapi saya masih bisa melangkah. Dengan tertatih menaiki tangga dengan membawa laptop menuju ruangan yang harus saya tuju. Di ruangan itu ada dua orang. Saya bermaksud bersalaman dengan mereka, tetapi ternyata pekerjaan semudah itu sebelumnya, sekarang perlu upaya lebih. Dengan tangan lemah dan gemetar saya bersalaman. Sang negosiator bertanya, ada apa dengan saya. Saya jawab sedang sedikit sakit. Lantas saya duduk dan negosiasi berlangsung. Untungnya, saya bisa menyelesaikan negosiasi itu. Kurang lebih satu jam waktu yang dihabiskan. Meringkas laptop, bersalaman, berpamitan dan melangkah pergi. Ah, kaki saya bertambah lemah, terasa lebih berat rasanya jika dibandingkan sewaktu saya datang tadi. Dengan lebih tertatih saya melangkah. Sampai di kantor kembali, Bos melihat kondisi saya. Beliau menyarankan untuk saya pulang awal saja. Akan tetapi waktu itu saya harus mengitung upah teman-teman yang bekerja di lapangan. Jadi saya harus selesaikan itu supaya teman-teman bisa mendapatkan upahnya. Penghitungan itu seharusnya tidak membutuhkan waktu lama karena teman saya yang pernah kerja di tempat saya bekerja ini sudah membuatkan rumusannya. Namun, yang membuat lama adalah saya harus meneliti kembali apakah hitungan saya sudah benar. Melihat pekerjaan yang tidak segera selesai, Bos saya kembali meminta saya untuk pulang saja dan segera ke rumah sakit. Saya masih belum mau karena pekerjaan tinggal sedikit lagi. Setelah saya yakin perhitungan benar dan slip upah mulai diprint, saya bersiap pulang. Waktu itu saya hanya berniat pulang ke rumah calon kakak ipar untuk beristirahat saja. Karena saya pikir, saya hanya kurang kalium. Bos saya pernah mengalami gejala yang sama. Namun bos saya tetap mendesak saya supaya pergi ke rumah sakit saja. Ya, saya akhirnya setuju.

RS Siloam yang saya pilih, karena dekat dan saya punya asuransi yang bisa dipakai di sana. Saya meringkas barang-barang dan melangkah pergi. Ternyata kaki kiri saya sudah benar-benar berat. Saya menyeretnya untuk dapat berjalan, membuat seorang teman harus memapah saya. Melihat kondisi itu, bos tidak mengijinkan saya naik motor dibonceng pacar saya. Akhirnya, dengan taxi saya pergi. Sampai di rumah sakit, kondisi bertambah parah. Untuk berdiri dan keluar taksi sungguh sangat kesulitan. Untunglah petugasnya sigap. Cepat mengambil kursi roda dan membawa saya ke UGD. Saya  diobservasi. Saya tidak tahu, tetapi sepertinya dokter yang mengobservasi saya waktu itu tidak yakin dengan apa yang saya alami. Saya terbaring untuk istirahat sejenak dan setelah itu dokter itu memberi pilihan untuk saya pulang. Waktu itu saya minta ke kamar mandi. Ketika dokter itu melihat bahwa saya hampir-hampir tidak bisa berdiri, barulah beliau menyarankan untuk rawat inap. Dan beliau memanggil dokter spesialis syaraf. Beberapa waktu saya harus menunggu, akhirnya dokter spesialis itu datang. Beliau menyarankan agar seluruh tubuh saya diperiksa. Saya dimasukkan ke dalam sebuah ruangan dan diperiksa dengan sebuah alat. Maafkan, namanya saya tidak tahu, lebih tepatnya lupa. Hasil pemeriksaan, semuanya baik. Kadar kalium saya juga tidak turun secara siknifikan. Dokter spesialis syaraf tadi langsung mengatakan bahwa saya terkena GBS (Guillain–BarrĂ© syndrome).

Saya bertanya apakah itu? Beliau mengatakan bahwa GBS itu penyakit langka yang merupakan penyakit autoimun yang menyerang syaraf dan membuat kelumpuhan. Kalau tidak segera diberi obat bisa membuat paru-paru lumpuh dan pasien harus dibantu alat pernapasan. Beliau mengatakan bahwa saya harus diberi empat botol obat sehari. Kalau tidak salah beliau mengatakan harga obat itu 2.750.000 rupiah per botol. Paling tidak saya harus diberi selama lima hari. Tentu hal itu membuat saya bingung. Betapa mahalnya. Dalam satu hari harus mengeluarkan biaya sebelas juta, belum biaya lain-lainnya. Maka saya menolak sambil berharap diagnosanya salah. Bisakah ini ditambah situasi saat sakit dan pemulihan?

13 Agustus 2011

Saat ini, saya sudah bisa beraktifitas walaupun masih terbatas. Saya bersyukur kepada Tuhan yang telah memberi kekuatan saya untuk menanggung semua kesulitan. Dia yang menyediakan semua hal yang saya butuhkan. Dia yang memberikan kesembuhan.  Dialah yang juga membentuk saya. Dialah Tuhan, Allah yang telah menunjukkan kasihNya di dalam Kristus Tuhan. Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada saudara-saudara saya di Lahai Roi (bulletin ini untuk alumni Kristen ITS, adakah pihak2 lain?) yang telah mendukung saya baik dana, doa, tenaga, waktu, perhatian maupun dukungan moral untuk menolong dan meringankan beban yang saya tanggung.

Terima kasih semuanya.

Sepoer (Teknik mesin ITS 92)